PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM PADA LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM FORMAL
DAN NON FORMAL
(Studi Kasus di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah Mathlabul
Ulum Kalinusu Kec. Bumiayu)
LAPORAN OBSERVASI
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Kapita
Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Rahman Afandi, S.Ag, M.S.I
Disusun oleh:
DIANA RAHMANIAH
NIM. 1423305189
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU
MADRASAHIBTIDAIYAH
JURUSAN
PENDIDIKAN MADRASAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki komponen inti terdiri dari
input, proses dan output yang merupakan satu kesatuan utuh yang saling terkait,
terikat, mempengaruhi, membutuhkan dan menentukan. Input dikategorikan menjadi
dua, yaitu input sumber daya manusia serta sumber daya lainnya dan input
manajemen yakni input potensial bagi pembentukan sistem yan efektif dan
efisien. Sedangkan output sekolah yaitu berupa kelulusan siswa yang berguna
bagi kehidupan yaitu lulusan yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, dan
masyarakat.
Ketika salah satu komponen inti tersebut tidak ada maka sekolah
tidak akan berjalan sesuai tujuan. Hal ini bisa disebut sebagai poblematika
pendidikan. Poblematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah permasalahan
yang selalu terjadi perdebatan yang membutuhkan solusi dalam memecahkannya.
Faktor yang menjadi problem diantaranya Guru, Siswa, Kepala Sekolah dan Sarana
Penunjang seperti ruang kelas, perpustakaan, labolatorium, mushola, dll.
Dalam makalah ini, kita akan membahas problematika yang ada pada
lembaga pendidikan Islam Formal dan Non Formal yaitu di MI dan Madrasah Diniyah
Mathlabul Ulum Kalinusu yaitu siswa. Dimana siswa adalah sasaran utama
pembelajaran. Dengan mengetahui problematika yang terjadi disekolah ini,
diharapkan kita bisa melakukan upaya sehingga masalah bisa segera diatasi.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengertian
Madrasah?
2.
Bagaimana
penyelanggaraan pendidikan Islam di Indonesia?
3.
Apa
Problematika yang dihadapi MI Mathlabul Ulum Kalinusu?
4.
Apa
Problematika yang dihadapi Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu?
5.
Upaya
apa yang dilakukan oleh MI dan Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian madrasah.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia.
3.
Untuk
mengetahui problematika yang dihadapi MI Mathlabul Ulum Kalinusu.
4.
Untuk
mengetahui problematika yang dihadapi Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu.
5.
Untuk
mengetahui upaya apa yang dilakukan oleh MI dan Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum
Kalinusu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Madrasah
1.
Madrasah
Ibtidaiyah
Perkataan
madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah tempat belajar. Padanan
Madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah lebih dikhususkan lagi
sekolah-sekolah agama Islam. Dalam shorter Encylopedia Of Islam, diartikan
: “name of an institution where the Islamic science are studied” artinya “nama
dari suatu lembaga dimana ilmu-ilmu keislaman diajarkan”.[1]
Dengan
keterangan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah tersebut adalah penekanannya sebagai
suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Perkataan madrasah ditanah
Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, akan tetapi di Indonesia
ditujukan buat sekolah yang mempelajari ajaran-ajaran Islam.
Kebanyakan
madrasah Ibtidaiyah berstatus swasta dan tersebar diseluruh tanah air. Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) awalnya berjumlah 205 buah berasal dari
madrasah-madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh,
kemudian diserahkan pada tahun 1949 berdasarkan Penetapan Menteri Agama No.1
Tahun 1959. 19 buah berasal dari Keresidenan Lampung dan 11 buah berasal dari
Sekolah Mambaul Ulum di Keresidenan Surakarta diserahkan kepada Departemen
Agama masing-masing dengan dengan penetapan Menteri Agama No.2 Tahun 1959 dan
Penetapan Menteri Agama No. 12 Tahun 1959.[2]
Kemudian
pada Tahun 1967, terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah, sehingga sampai
dengan tahun 1970 dengan diterbitkannya keputusan Menteri Agama No. 213 Tahun 1970 tentang larangan
penegerian Madrasah menjadi 362 buah.
Sistem
madrasah mirip dengan sistem sekolah umum di Indonesia. Para siswa tidak mesti
tinggal di pondok di kompleks madrasah, siswa cukup datang ke madrasah pada
jam-jam berlangsung pelajaran pada pagi hari atau sore hari. Sistem dan isi
madrasah diupayakan adanya penggabungan antara sistem pesantren dan sekolah
umum. Penyusun ensiklopedi Indonesia, memandang madrasah sebagai perpaduan
antara pendidikan sistem pondok yang khusus mengajarkan agama Islam dan sistem
yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum.
Walaupun
terdapat keanekaragaman dalam upaya menggabungkan mata pelajaran agama dan mata
pelajaran umum, namun madrasah tetap sebagai lembaga pendidikan Islam yang
menjadikan mata pelajaran sebagai mata pelajaran pokok atau dasar. Dalam
kurikulum madrasah disebutkan bahwa mata pelajaran agama terdiri dari:
a.
Al-Qur’an
Hadits
b.
Aqidah
Akhlak
c.
Fikih
d.
Sejarah
dan Kebudayaan Islam
e.
Bahasa
Arab
2.
Madrasah
Diniyah
Ditinjau dari sejarah bahwa pengertian madrasah
diniyah adalah sekolah khusus pendidikan agama Islam klasik, dimana istilah
kata madrasah diniyah timbul dari para pejuang agama islam terdahulu yang
mendirikan pondok pesantren. Untuk mengembangkan pendidikan agama di pondok
pesantren maka didirikanlah madrasah diniyah dengan pola pengajaran di pondok
pesantren yaitu menggunakan kitab-kitab klasik dan metode-metode klasik.
Sejalan
dengan munculnya pembaharuan pendidikan di Indonesia. Dunia pendidikan Islam
pun ikut mengadakan pembaharuan. Beberapa organisasi pendidikan yang
menyelenggarakan madrasah maupun madrasah diniyah, pun ikut berusaha melakukan
pembaharuan madrasah maupun madrasah diniyah. Upaya menetapkan pendidikan
madrasah diniyah dilakukan sejak tahun 1964, dengan ditetapkannya Peraturan
Mentri Agama Nomor : 13 tahun 1964 yang antara lain dijelaskan :
a.
Madrasah
Diniyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran
secara klasikal dalam pengetahuan agama Islam kepada pelajar bersama-sama sedikitnya
berjumlah 10 (sepuluh) orang atau lebih, diantara anak-anak yang berusia 7
(tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
b.
Pendidikan
dan pengajaran pada madrasah diniyah bertujuan untuk memberi tambahan
pengetahuan agama kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran
agama di sekolah-sekolah umum.
c.
Madrasah
Diniyah ada 3 (tiga) tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha, dan
Diniyah Ulya. Peraturan Pemerintah RI nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan, mulailah mengadakan upaya pembaharuan
pendidikan Diniyah menjadi Madrasah Diniyah formal, artinya bahwa Pendidikan
Madrasah Diniyah Formal menggunakan metode dan system pembelajaran sebagaimana
sekolah-sekolah pada umumnya, yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 16 pasal 1, yaitu berbunyi “Pendidikan
diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri
atas 6 (enam) tingakat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat
MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
B.
Penyelenggaran
Pendidikan Islam di Indonesia
Selain Sekolah dan Pesantren, salah satu penyelenggaraan Pendidikan
Islam di Indonesia adalah dengan mendirikan madrasah, pada eksistensinya
madrasah didirikan dengan maksud untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam
yang memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu agama seperti pesantren dan memiliki
keunggulan dalam ilmu-ilmu umum sebagaimana sekolah, ternyata justru menjadi
serbatanggung. Namun pada kenyataannya, malah kebanyakan madrasah masih
menghadapi problem dari kedua jenis ilmu tersebut. Dari segi ilmu agama,
lulusan madrasah pada umumnya masih kalah dari pesantren, sedangkan dari segi
ilmu umum masih kalah dari sekolah. Bahkan, madrasah menghadapi problem lebih
serius, seperti dianggap sebagai lembaga pendidikan kurang kompetitif, kualitas
lulusannya masih dipertanyakan, 40% gurunya mismatch, sarana dan
prasarana pendidikan serbakurang, manajemen pengelolaan kurang profesional, dan
sebagainya.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem
masyarakat atau bangsa. Dalam operasionalnya selalu mengacu dan tanggap kepada
kebutuhan perkembangan masyarakat. Disamping itu pergeseran idealitas
masyarakat yang menuju kearah pola pikir rasional teknologis yang cenderung
melepaskan diri dari tradisionalisme cultural-edukatif makin membengkak.
Apalagi bila diingat bahwa misi pendidikan Islam lebih berorientasi kepada
nilai-nilai luhur Tuhan yang harus diinternalisasikan kedalam lubuk hati tiap
pribadi manusia melalui bidang-bidang kehidupan manusia.[3]
Problem-problem yang dihadapi madrasah disebabkan oleh berbagai
faktor yang sangat kompleks. Dari segi manajemen, madrasah dikelola Kementrian
Agama yang masih sentralistik, sedangkan sekolah sudah dikelola secara
desentralistik dengan prinsip otonomi daerah. Konsekuensinya, banyak pemerintah
daerah yang tidak merasa ikut memiliki madrasah. Oleh karena itu, kebanyakan
madrasah tidak merasa mendapatkan Anggaran dari APBD (Provinsi dan Kabupaten/kota).
Madrasah juga tidak mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan
pengembangan tenaga pendidik dan kependidikan serta fasilitas-fasilitas lain
dari pemerintah daerah.
Muhyidin Albarobis memotret kondisi karut-marut bangsa ini dan
menyebut generasi bangsa Indonesia dewasa ini sebagai “generasi rusak-rusakan”.
Dalam bukunya, Mendidik Generasi Bangsa (2012b), Muhyidin mendedahkan
enam kerusakan umum yang diidap oleh bangsa kita diantaranya: Prestasi bangsa
dimata dunia yang hampir selalu kalah, pejabat public yang tunamoral, penegakan
hukum yang timpang, masyarakat yang kalap, guru yang tak patut ditiru, dan
generasi muda yang sakit.[4]
Menurut pemakalah, di Indonesia poblematika pendidikan Islam sangat
banyak. Problematika adalah sebuah masalah yang bisa menjadi penghalang atau
kesulitan dalam mencapai kompetensi pembelajaran. Dimana problematika ini harus
menjadi perhatian bagi masyarakat dan juga pemerintah untuk segara dibenahi dan
ditindak lanjuti untuk mendapatkan penyelesaiannya.
C.
Problematika
di MI Mathlabul Ulum Kalinusu
Dari hasil wawancara saya dengan salah satu guru di MI Mathlabul
Ulum, saya dapat menemukan hal yang menjadi problem di MI tersebut. Seperti
yang kita tahu ada banyak problematika yang kompleks di sekolah-sekolah, sama
halnya dengan yang dialami oleh MI Mathlabul Ulum yang letaknya di sebuah desa
terpencil dengan banyak kekurangan. Yang menjadi problematika disini adalah dari
salah satu komponen pendidikan yaitu siswa. Di MI Mathlabul Ulum jumlah siswa
yang masuk sangat sedikit, hal ini dikarenakan kurangnya minat orang tua untuk
menyekolahkan anakanya di MI Mathlabul Ulum sehingga berdampak pada minimnya
jumlah siswa di MI tersebut.
Menurut Sholikha (guru kelas 5 MI Mathlabul Ulum), alasan kurangnya
minat orang tua di desa Kalinusu untuk menyekolahkan anaknya di MI disebabkan
oleh berbagai faktor diantaranya:
1.
Orang tua siswa lebih tertarik menyekolahkan
anaknya di SD Kalinusu dari pada di MI.
2.
Di
SD khusus siswa baru mendapat BSM sebesar Rp. 300.000 per anak, sedangkan di MI
tidak. Hal ini tentu saja sangat menarik perhatian orang tua sehingga banyak
yang tergiur untuk mendaftarkan anaknya di SD.
3.
Di
SD lebih banyak guru negri, sedangkan di
MI lebih banyak guru swasta.
4.
Guru
di MI dari dulu sampai sekarang selalu sama sedangkan di SD gurunya selalu
berganti-ganti.
Jadi pada
intinya banyak sekali faktor yang menyebabkan kurangnya minat orang tua untuk
menyekolahkan anaknya di MI. dari sekian banyak alasan orang tua tidak
menyekolahkan anaknya di MI, masih ada orang tua yang masih mau menyekolahkan
anaknya di MI dengan alasan: pertama, Orang tua masih sadar bahwa
pendidikan agama adalah hal yang penting bagi anak mereka. Jadi sedari kecil
mereka sudah mendapatkan pendidikan agama dengan baik. Kedua, karena
faktor keluarga, jadi para orang tua yang menyekolahkan anaknya di MI karena
adanya hubungan keluarga dengan guru ataupun karyawan di sekolah tersebut.
Menghadapi
problema tersebut, upaya yang dilakukan oleh pemerintah desa setempat dan
guru-gurunya yaitu lurah desa Kalinusu selalu mengajak warganya untuk
menyekolahkan anakanya di MI demi pendidikan agama anak-anak mereka. Dari
guru-gurunya biasanya melakukan kunjungan door to door untuk menarik
minat orang tua agar mau menyekolahkan anaknya di MI.
D.
Problematika
di Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu
Hasil yang saya dapat berdasarkan wawancara dengan salah satu guru
di MD Mathlabul Ulum terkait problem yang dihadapi, yakni banyak siswa yang
mengundurkan diri dan banyak juga yang tidak mendaftar sekolah diniyah. Banyaknya siswa keluar ditengah jalan dan
banyak anak yang tidak mendaftarkan dirinya di sekolah diniyah dilandasi oleh
berbagai faktor:
1.
Faktor
Jasmani dan Rohani Siswa
Banyak siswa yang keluar sebelum tamat diniyah karena alasan lelah
fisik dan juga pikiran tidak mampu. Jadi dengan waktu pagi yang mereka habiskan
untuk sekolah formal (SD/MI) kemudian sore hari dilanjutkan sekolah sore
(Diniyah) membuat mereka kelelahan secara fisik dan juga mereka merasa tidak
mampu jika terlalu banyak berpikir pelajaran di sekolah dan di diniyah. Jadi
mereka memilih untuk meninggalkan diniyah atau tidak mendaftar sama sekali. Hanya
ada satu Madrasah Diniyah di desa Kalinusu, tetapi jumlah siswa di sekolah ini
sangat minim. Tingkatannya hanya sampai kelas 4, tetapi jumlah siswa selalu
berkurang. Misal dari kelas 1 ada 40 siswa sampai kelas hanya tersisa 20 orang.
2.
Faktor
Kesadaran Orang Tua
Pada dasarnya anak masih butuh banyak bimbingan, terutama dari
orang tua. Jadi anak butuh dorongan dan semangat dari orang-orang terdekat.
Ketika anak kehilangan semangat, orang tua harus menguatkannya dengan member
semangat. Dalam kasus ini banyak orang tua yang kesadaran untuk memberikan
pendidikan agama kepada anaknya masih kurang. Ada juga kasus yang datang dari
anak itu sendiri, jadi orang tua sudah mendukung penuh anaknya sekolah diniyah
tetapi anak itu menolak dan memilih untuk tidak sekolah diniyah.
3.
Faktor
Ekonomi
Di desa Kalinusu yang mayoritas mata pencahariannya adalah petani,
perekonomian disini masih kurang. Hal tersebut berdampak juga pada pendidikan
anak. Banyak anak yang hanya bisa sekolah sampai SD/MI saja atau sampai SMP
saja. Jadi untuk sekolah nonformal seperti diniyah, banyak orang tua harus
berpikir dua kali untuk menyekolahkan anaknya di sekolah diniyah. Apalagi di madrasah
diniyah memang dipungut biaya sedangkan di SD/MI gratis.
4.
Faktor
Semangat Siswa
Di era globalisasi seperti sekarang ini, siapa saja bisa dengan
mudah mengakses apa saja melalui internet, gadget yang bisa dimiliki
siapa saja dari anak keci sampai orang dewasa, Game-game yang banyak
digandrungi anak-anak sekolah. Perubahan zaman mempengaruhi semangat belajar
anak-anak di desa Kalinusu. Menurut sumber, semangat anak-anak sekarang berbeda
dengan anak-anak zaman dulu. Contohnya dalam hal menghafal, mereka sangat susah
ketika disuruh untuk mengahafal, meskipun sudah dimotivasi dengan hadiah dan
semacamnya mereka tetap tidak mau menghafal.
5.
Faktor
Ijazah
Pada dasarnya tujuan bersekolah adalah menimba ilmu, menghilangkan
kebodohan dan menjadi orang yang lebih baik. Hal ini sepertinya masih belum
disadari sepenuhnya oleh orang tua. Mereka menganggap bahwa sekolah adalah
semata-mata untuk mendapat ijazah dan mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang.
Jadi kasusnya banyak orang tua yang menganggap ijazah diniyah tidak terlalu
penting karena tidak bisa untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan.
Upaya yang dilakukan untuk menangani problematika madrasah diniyah
adalah setiap bulan puasa (saat kultum subuh) selalu dijelaskan bahwa sekolah
diniyah juga penting untuk melengkapi pengetahuan agama anak. Karena anak-anak
di desa Kalinusu tidak hanya sekolah di MI tetapi juga di SD yang mungkin pelajaran
agamanya tidak sebanyak di MI, jadi untuk melengkapinya anak-anak seharusnya disekolahkan
di madrasah diniyah.
BAB
III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Pendidikan
Islam di Indonesia masih memiliki banyak problematika, demikian Pendidikan
Islam formal maupun nonformal. Seperti halnya di Madrasah Ibtidaiyah dan
Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu yang memiliki problematika tidak jauh
berbeda yakni pada Siswa. Dimana kedua sekolah yang letaknya jauh dari kota dan jangkauan
teknologi ini kekurangan siswa. Masalah di MI Mathlabul Ulum dipengaruhi faktor
sbb:
1.
Orang
tua siswa lebih tertarik menyekolahkan anaknya di SD Kalinusu dari pada di MI.
2.
Di
SD khusus siswa baru mendapat BSM sebesar Rp. 300.000 per anak, sedangkan di MI
tidak.
3.
Di
SD lebih banyak guru negri, sedangkan di
MI lebih banyak guru swasta.
4.
Guru
di MI dari dulu sampai sekarang selalu sama sedangkan di SD gurunya selalu
berganti-ganti.
Sedangkan di Madrasah Diniyah dipengaruhi oleh faktor jasmani dan
rohani siswa, faktor kesadaran orang tua, faktor ekonomi, faktor semangat siswa,
dan faktor Ijazah.
Upaya yang
dilakukan oleh kedua sekolah tersebut adalah lurah desa Kalinusu selalu mengajak
warganya untuk menyekolahkan anakanya di MI demi pendidikan agama anak-anak
mereka. Dari guru-gurunya biasanya melakukan kunjungan door to door
untuk menarik minat orang tua agar mau menyekolahkan anaknya di MI. dan setiap
bulan puasa (saat kultum subuh) selalu dijelaskan bahwa sekolah diniyah juga
penting untuk melengkapi pengetahuan agama anak.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa laporan observasi ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga dengan adanya laporan
observasi ini bisa menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Dan
diharapkan dengan adanya laporan observasi ini kita bisa meminimalisir
problematika pendidikan Islam bagi formal maupun nonformal dan menerapkan
solusi yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. 2003, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : PT Bumi Aksara.
Daulay, Haidar Putra. 2012, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana.
Shaleh, Abdul Rachman. 2004, Madrasah
dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, 2012.
Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Tantowi, Ahmad. 2009, Pendidikan
Islam di Era Transformasi Global, Semarang : Pustaka Rizki Putra.
[1]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 45.
[2]Abdul
Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 32.
[3]
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Bumi Aksara,
2003), hlm. 16.
[4]
Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial,
(Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 77-83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar