Minggu, 07 Mei 2017

1423305189

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM PADA LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM FORMAL DAN NON FORMAL
(Studi Kasus di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu Kec. Bumiayu)

Description: Description: D:\IAIN\LOGO IAIN.jpg

LAPORAN OBSERVASI
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Kapita Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Rahman Afandi, S.Ag, M.S.I

Disusun oleh:

DIANA RAHMANIAH
NIM. 1423305189




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAHIBTIDAIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN MADRASAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki komponen inti terdiri dari input, proses dan output yang merupakan satu kesatuan utuh yang saling terkait, terikat, mempengaruhi, membutuhkan dan menentukan. Input dikategorikan menjadi dua, yaitu input sumber daya manusia serta sumber daya lainnya dan input manajemen yakni input potensial bagi pembentukan sistem yan efektif dan efisien. Sedangkan output sekolah yaitu berupa kelulusan siswa yang berguna bagi kehidupan yaitu lulusan yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, dan masyarakat.
Ketika salah satu komponen inti tersebut tidak ada maka sekolah tidak akan berjalan sesuai tujuan. Hal ini bisa disebut sebagai poblematika pendidikan. Poblematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah permasalahan yang selalu terjadi perdebatan yang membutuhkan solusi dalam memecahkannya. Faktor yang menjadi problem diantaranya Guru, Siswa, Kepala Sekolah dan Sarana Penunjang seperti ruang kelas, perpustakaan, labolatorium, mushola, dll.
Dalam makalah ini, kita akan membahas problematika yang ada pada lembaga pendidikan Islam Formal dan Non Formal yaitu di MI dan Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu yaitu siswa. Dimana siswa adalah sasaran utama pembelajaran. Dengan mengetahui problematika yang terjadi disekolah ini, diharapkan kita bisa melakukan upaya sehingga masalah bisa segera diatasi.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Madrasah?
2.      Bagaimana penyelanggaraan pendidikan Islam di Indonesia?
3.      Apa Problematika yang dihadapi MI Mathlabul Ulum Kalinusu?
4.      Apa Problematika yang dihadapi Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu?
5.      Upaya apa yang dilakukan oleh MI dan Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu?
C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian madrasah.
2.      Untuk mengetahui bagaimana penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui problematika yang dihadapi MI Mathlabul Ulum Kalinusu.
4.      Untuk mengetahui problematika yang dihadapi Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu.
5.      Untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan oleh MI dan Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Madrasah
1.      Madrasah Ibtidaiyah
Perkataan madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah tempat belajar. Padanan Madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah lebih dikhususkan lagi sekolah-sekolah agama Islam. Dalam shorter Encylopedia Of Islam, diartikan : “name of an institution where the Islamic science are studied” artinya “nama dari suatu lembaga dimana ilmu-ilmu keislaman diajarkan”.[1]
Dengan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah tersebut adalah penekanannya sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Perkataan madrasah ditanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, akan tetapi di Indonesia ditujukan buat sekolah yang mempelajari ajaran-ajaran Islam.
Kebanyakan madrasah Ibtidaiyah berstatus swasta dan tersebar diseluruh tanah air. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) awalnya berjumlah 205 buah berasal dari madrasah-madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, kemudian diserahkan pada tahun 1949 berdasarkan Penetapan Menteri Agama No.1 Tahun 1959. 19 buah berasal dari Keresidenan Lampung dan 11 buah berasal dari Sekolah Mambaul Ulum di Keresidenan Surakarta diserahkan kepada Departemen Agama masing-masing dengan dengan penetapan Menteri Agama No.2 Tahun 1959 dan Penetapan Menteri Agama No. 12 Tahun 1959.[2]
Kemudian pada Tahun 1967, terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah, sehingga sampai dengan tahun 1970 dengan diterbitkannya keputusan Menteri Agama  No. 213 Tahun 1970 tentang larangan penegerian Madrasah menjadi 362 buah.
Sistem madrasah mirip dengan sistem sekolah umum di Indonesia. Para siswa tidak mesti tinggal di pondok di kompleks madrasah, siswa cukup datang ke madrasah pada jam-jam berlangsung pelajaran pada pagi hari atau sore hari. Sistem dan isi madrasah diupayakan adanya penggabungan antara sistem pesantren dan sekolah umum. Penyusun ensiklopedi Indonesia, memandang madrasah sebagai perpaduan antara pendidikan sistem pondok yang khusus mengajarkan agama Islam dan sistem yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum.
Walaupun terdapat keanekaragaman dalam upaya menggabungkan mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum, namun madrasah tetap sebagai lembaga pendidikan Islam yang menjadikan mata pelajaran sebagai mata pelajaran pokok atau dasar. Dalam kurikulum madrasah disebutkan bahwa mata pelajaran agama terdiri dari:
a.       Al-Qur’an Hadits
b.      Aqidah Akhlak
c.       Fikih
d.      Sejarah dan Kebudayaan Islam
e.       Bahasa Arab
2.      Madrasah Diniyah
Ditinjau dari sejarah bahwa pengertian madrasah diniyah adalah sekolah khusus pendidikan agama Islam klasik, dimana istilah kata madrasah diniyah timbul dari para pejuang agama islam terdahulu yang mendirikan pondok pesantren. Untuk mengembangkan pendidikan agama di pondok pesantren maka didirikanlah madrasah diniyah dengan pola pengajaran di pondok pesantren yaitu menggunakan kitab-kitab klasik dan metode-metode klasik.
Sejalan dengan munculnya pembaharuan pendidikan di Indonesia. Dunia pendidikan Islam pun ikut mengadakan pembaharuan. Beberapa organisasi pendidikan yang menyelenggarakan madrasah maupun madrasah diniyah, pun ikut berusaha melakukan pembaharuan madrasah maupun madrasah diniyah. Upaya menetapkan pendidikan madrasah diniyah dilakukan sejak tahun 1964, dengan ditetapkannya Peraturan Mentri Agama Nomor : 13 tahun 1964 yang antara lain dijelaskan :
a.    Madrasah Diniyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal dalam pengetahuan agama Islam kepada pelajar bersama-sama sedikitnya berjumlah 10 (sepuluh) orang atau lebih, diantara anak-anak yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
b.    Pendidikan dan pengajaran pada madrasah diniyah bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama di sekolah-sekolah umum.
c.    Madrasah Diniyah ada 3 (tiga) tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha, dan Diniyah Ulya. Peraturan Pemerintah RI nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, mulailah mengadakan upaya pembaharuan pendidikan Diniyah menjadi Madrasah Diniyah formal, artinya bahwa Pendidikan Madrasah Diniyah Formal menggunakan metode dan system pembelajaran sebagaimana sekolah-sekolah pada umumnya, yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sebagaimana tercantum dalam pasal 16 pasal 1, yaitu berbunyi “Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingakat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
B.       Penyelenggaran Pendidikan Islam di Indonesia
Selain Sekolah dan Pesantren, salah satu penyelenggaraan Pendidikan Islam di Indonesia adalah dengan mendirikan madrasah, pada eksistensinya madrasah didirikan dengan maksud untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam yang memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu agama seperti pesantren dan memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu umum sebagaimana sekolah, ternyata justru menjadi serbatanggung. Namun pada kenyataannya, malah kebanyakan madrasah masih menghadapi problem dari kedua jenis ilmu tersebut. Dari segi ilmu agama, lulusan madrasah pada umumnya masih kalah dari pesantren, sedangkan dari segi ilmu umum masih kalah dari sekolah. Bahkan, madrasah menghadapi problem lebih serius, seperti dianggap sebagai lembaga pendidikan kurang kompetitif, kualitas lulusannya masih dipertanyakan, 40% gurunya mismatch, sarana dan prasarana pendidikan serbakurang, manajemen pengelolaan kurang profesional, dan sebagainya.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem masyarakat atau bangsa. Dalam operasionalnya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan masyarakat. Disamping itu pergeseran idealitas masyarakat yang menuju kearah pola pikir rasional teknologis yang cenderung melepaskan diri dari tradisionalisme cultural-edukatif makin membengkak. Apalagi bila diingat bahwa misi pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur Tuhan yang harus diinternalisasikan kedalam lubuk hati tiap pribadi manusia melalui bidang-bidang kehidupan manusia.[3]
Problem-problem yang dihadapi madrasah disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks. Dari segi manajemen, madrasah dikelola Kementrian Agama yang masih sentralistik, sedangkan sekolah sudah dikelola secara desentralistik dengan prinsip otonomi daerah. Konsekuensinya, banyak pemerintah daerah yang tidak merasa ikut memiliki madrasah. Oleh karena itu, kebanyakan madrasah tidak merasa mendapatkan Anggaran dari APBD (Provinsi dan Kabupaten/kota). Madrasah juga tidak mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan pengembangan tenaga pendidik dan kependidikan serta fasilitas-fasilitas lain dari pemerintah daerah.
Muhyidin Albarobis memotret kondisi karut-marut bangsa ini dan menyebut generasi bangsa Indonesia dewasa ini sebagai “generasi rusak-rusakan”. Dalam bukunya, Mendidik Generasi Bangsa (2012b), Muhyidin mendedahkan enam kerusakan umum yang diidap oleh bangsa kita diantaranya: Prestasi bangsa dimata dunia yang hampir selalu kalah, pejabat public yang tunamoral, penegakan hukum yang timpang, masyarakat yang kalap, guru yang tak patut ditiru, dan generasi muda yang sakit.[4]
Menurut pemakalah, di Indonesia poblematika pendidikan Islam sangat banyak. Problematika adalah sebuah masalah yang bisa menjadi penghalang atau kesulitan dalam mencapai kompetensi pembelajaran. Dimana problematika ini harus menjadi perhatian bagi masyarakat dan juga pemerintah untuk segara dibenahi dan ditindak lanjuti untuk mendapatkan penyelesaiannya.

C.      Problematika di MI Mathlabul Ulum Kalinusu
Dari hasil wawancara saya dengan salah satu guru di MI Mathlabul Ulum, saya dapat menemukan hal yang menjadi problem di MI tersebut. Seperti yang kita tahu ada banyak problematika yang kompleks di sekolah-sekolah, sama halnya dengan yang dialami oleh MI Mathlabul Ulum yang letaknya di sebuah desa terpencil dengan banyak kekurangan. Yang menjadi problematika disini adalah dari salah satu komponen pendidikan yaitu siswa. Di MI Mathlabul Ulum jumlah siswa yang masuk sangat sedikit, hal ini dikarenakan kurangnya minat orang tua untuk menyekolahkan anakanya di MI Mathlabul Ulum sehingga berdampak pada minimnya jumlah siswa di MI tersebut.
Menurut Sholikha (guru kelas 5 MI Mathlabul Ulum), alasan kurangnya minat orang tua di desa Kalinusu untuk menyekolahkan anaknya di MI disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya:
1.     Orang tua siswa lebih tertarik menyekolahkan anaknya di SD Kalinusu dari pada di MI.
2.    Di SD khusus siswa baru mendapat BSM sebesar Rp. 300.000 per anak, sedangkan di MI tidak. Hal ini tentu saja sangat menarik perhatian orang tua sehingga banyak yang tergiur untuk mendaftarkan anaknya di SD.
3.    Di SD  lebih banyak guru negri, sedangkan di MI lebih banyak guru swasta.
4.    Guru di MI dari dulu sampai sekarang selalu sama sedangkan di SD gurunya selalu berganti-ganti.
Jadi pada intinya banyak sekali faktor yang menyebabkan kurangnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di MI. dari sekian banyak alasan orang tua tidak menyekolahkan anaknya di MI, masih ada orang tua yang masih mau menyekolahkan anaknya di MI dengan alasan: pertama, Orang tua masih sadar bahwa pendidikan agama adalah hal yang penting bagi anak mereka. Jadi sedari kecil mereka sudah mendapatkan pendidikan agama dengan baik. Kedua, karena faktor keluarga, jadi para orang tua yang menyekolahkan anaknya di MI karena adanya hubungan keluarga dengan guru ataupun karyawan di sekolah tersebut.
Menghadapi problema tersebut, upaya yang dilakukan oleh pemerintah desa setempat dan guru-gurunya yaitu lurah desa Kalinusu selalu mengajak warganya untuk menyekolahkan anakanya di MI demi pendidikan agama anak-anak mereka. Dari guru-gurunya biasanya melakukan kunjungan door to door untuk menarik minat orang tua agar mau menyekolahkan anaknya di MI.
D.      Problematika di Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu
Hasil yang saya dapat berdasarkan wawancara dengan salah satu guru di MD Mathlabul Ulum terkait problem yang dihadapi, yakni banyak siswa yang mengundurkan diri dan banyak juga yang tidak mendaftar sekolah diniyah.  Banyaknya siswa keluar ditengah jalan dan banyak anak yang tidak mendaftarkan dirinya di sekolah diniyah dilandasi oleh berbagai faktor:

1.        Faktor Jasmani dan Rohani Siswa
Banyak siswa yang keluar sebelum tamat diniyah karena alasan lelah fisik dan juga pikiran tidak mampu. Jadi dengan waktu pagi yang mereka habiskan untuk sekolah formal (SD/MI) kemudian sore hari dilanjutkan sekolah sore (Diniyah) membuat mereka kelelahan secara fisik dan juga mereka merasa tidak mampu jika terlalu banyak berpikir pelajaran di sekolah dan di diniyah. Jadi mereka memilih untuk meninggalkan diniyah atau tidak mendaftar sama sekali. Hanya ada satu Madrasah Diniyah di desa Kalinusu, tetapi jumlah siswa di sekolah ini sangat minim. Tingkatannya hanya sampai kelas 4, tetapi jumlah siswa selalu berkurang. Misal dari kelas 1 ada 40 siswa sampai kelas hanya tersisa 20 orang.
2.        Faktor Kesadaran Orang Tua
Pada dasarnya anak masih butuh banyak bimbingan, terutama dari orang tua. Jadi anak butuh dorongan dan semangat dari orang-orang terdekat. Ketika anak kehilangan semangat, orang tua harus menguatkannya dengan member semangat. Dalam kasus ini banyak orang tua yang kesadaran untuk memberikan pendidikan agama kepada anaknya masih kurang. Ada juga kasus yang datang dari anak itu sendiri, jadi orang tua sudah mendukung penuh anaknya sekolah diniyah tetapi anak itu menolak dan memilih untuk tidak sekolah diniyah.

3.        Faktor Ekonomi
Di desa Kalinusu yang mayoritas mata pencahariannya adalah petani, perekonomian disini masih kurang. Hal tersebut berdampak juga pada pendidikan anak. Banyak anak yang hanya bisa sekolah sampai SD/MI saja atau sampai SMP saja. Jadi untuk sekolah nonformal seperti diniyah, banyak orang tua harus berpikir dua kali untuk menyekolahkan anaknya di sekolah diniyah. Apalagi di madrasah diniyah memang dipungut biaya sedangkan di SD/MI gratis.
4.        Faktor Semangat Siswa
Di era globalisasi seperti sekarang ini, siapa saja bisa dengan mudah mengakses apa saja melalui internet, gadget yang bisa dimiliki siapa saja dari anak keci sampai orang dewasa, Game-game yang banyak digandrungi anak-anak sekolah. Perubahan zaman mempengaruhi semangat belajar anak-anak di desa Kalinusu. Menurut sumber, semangat anak-anak sekarang berbeda dengan anak-anak zaman dulu. Contohnya dalam hal menghafal, mereka sangat susah ketika disuruh untuk mengahafal, meskipun sudah dimotivasi dengan hadiah dan semacamnya mereka tetap tidak mau menghafal.
5.        Faktor Ijazah
Pada dasarnya tujuan bersekolah adalah menimba ilmu, menghilangkan kebodohan dan menjadi orang yang lebih baik. Hal ini sepertinya masih belum disadari sepenuhnya oleh orang tua. Mereka menganggap bahwa sekolah adalah semata-mata untuk mendapat ijazah dan mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang. Jadi kasusnya banyak orang tua yang menganggap ijazah diniyah tidak terlalu penting karena tidak bisa untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan.
Upaya yang dilakukan untuk menangani problematika madrasah diniyah adalah setiap bulan puasa (saat kultum subuh) selalu dijelaskan bahwa sekolah diniyah juga penting untuk melengkapi pengetahuan agama anak. Karena anak-anak di desa Kalinusu tidak hanya sekolah di MI tetapi juga di SD yang mungkin pelajaran agamanya tidak sebanyak di MI, jadi untuk melengkapinya anak-anak seharusnya disekolahkan di madrasah diniyah.












BAB III
KESIMPULAN
A.      Kesimpulan
Pendidikan Islam di Indonesia masih memiliki banyak problematika, demikian Pendidikan Islam formal maupun nonformal. Seperti halnya di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah Mathlabul Ulum Kalinusu yang memiliki problematika tidak jauh berbeda yakni pada Siswa. Dimana kedua sekolah yang  letaknya jauh dari kota dan jangkauan teknologi ini kekurangan siswa. Masalah di MI Mathlabul Ulum dipengaruhi faktor sbb:
1.    Orang tua siswa lebih tertarik menyekolahkan anaknya di SD Kalinusu dari pada di MI.
2.    Di SD khusus siswa baru mendapat BSM sebesar Rp. 300.000 per anak, sedangkan di MI tidak.
3.    Di SD  lebih banyak guru negri, sedangkan di MI lebih banyak guru swasta.
4.    Guru di MI dari dulu sampai sekarang selalu sama sedangkan di SD gurunya selalu berganti-ganti.
Sedangkan di Madrasah Diniyah dipengaruhi oleh faktor jasmani dan rohani siswa, faktor kesadaran orang tua, faktor ekonomi, faktor semangat siswa, dan faktor Ijazah.
Upaya yang dilakukan oleh kedua sekolah tersebut adalah lurah desa Kalinusu selalu mengajak warganya untuk menyekolahkan anakanya di MI demi pendidikan agama anak-anak mereka. Dari guru-gurunya biasanya melakukan kunjungan door to door untuk menarik minat orang tua agar mau menyekolahkan anaknya di MI. dan setiap bulan puasa (saat kultum subuh) selalu dijelaskan bahwa sekolah diniyah juga penting untuk melengkapi pengetahuan agama anak.
B.       Saran
Penulis menyadari bahwa laporan observasi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga dengan adanya laporan observasi ini bisa menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Dan diharapkan dengan adanya laporan observasi ini kita bisa meminimalisir problematika pendidikan Islam bagi formal maupun nonformal dan menerapkan solusi yang sesuai.









DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. 2003, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : PT Bumi Aksara.
Daulay, Haidar Putra. 2012,  Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana.
Shaleh, Abdul Rachman. 2004, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, 2012. Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Tantowi, Ahmad. 2009, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Semarang : Pustaka Rizki Putra.



[1] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 45.
[2]Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 32.
[3] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2003), hlm. 16.
[4] Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 77-83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar